Monday, November 23, 2009

Mimpi sore ini

Sekitar pukul tiga sore tadi, aku tertidur sambil memeluk komik yang sedang kubaca.

Aku rasa aku bermimpi indah, karena aku tidak terbangun hingga pukul lima dan Ibuku berteriak menyuruhku bangun karena aku belum shalat Ashar. Aku jarang sekali bermimpi--atau lebih tepatnya, aku jarang sekali ingat apa yang kuimpikan. Aku punya banyak impian, tapi impian itu berbeda dengan mimpi. Aku jarang bermimpi. Seringkali aku terbangun dengan pikiran kosong, atau merasa memimpikan sesuatu tapi tak ingat apa itu.

Karena itulah, saat aku tidur, bermimpi, dan mampu mengingat mimpi itu, rasanya mimpi itu spesial.

Mimpiku tadi sore agak aneh. Aku bermimpi pulang ke kampung halaman bersama keluargaku, tapi mereka bukan keluargaku. Keluargaku di dunia nyata terdiri dari Ayah, Ibu, adik laki-laki yang tiga tahun lebih muda dariku, serta dua adik perempuan yang saat ini duduk di bangku kelas lima dan satu SD. Sedangkan di dalam mimpi, keluargaku terdiri dari Ayah, Ibu, dua adik perempuan berusia tujuh dan empat tahun, serta satu adik bayi yang aku tidak yakin apakah dia perempuan atau laki-laki.

Dalam mimpiku sore tadi, merekalah keluargaku.

Aku bermimpi kami sedang siap-siap untuk kembali ke Jakarta, sementara kedua adik perempuanku pergi bermain-main keliling kompleks. Ibuku memintaku mencari mereka, berkata kalau mobil kami akan menunggu di depan kompleks. Jadi aku pergi tanpa protes, menyusuri gang-gang kompleks dan akhirnya menemukan kedua adik perempuanku di depan sebuah warung, menungguku.

Kemudian kami berjalan gerbang depan kompleks, dan aku menggendong adik perempuanku yang berusia tiga tahun di atas pundakku. Kami bernyanyi bersama-sama di sepanjang jalan, sampai akhirnya melihat mobil kami--Avanza hitam--menunggu di gerbang kompleks. Ayahku keluar, menegurku dengan lembut karena kami bertiga lama sekali. Ibuku duduk di jok penumpang depan, menggendong adik bayiku. Ketika membuka pintu mobil, jok penumpang tengah ternyata sudah dilepas, berganti dengan tumpukan bantal agar kami bisa tidur di sepanjang perjalanan.

Setiap tahun, saat mudik, keluargaku selalu melepas jok penumpang tengah dan meletakkan bantal-bantal besar di lantai mobil, agar anak-anak bisa tidur dengan nyaman. Bahkan dalam mimpi, aku mengenali tradisi kecil kami ini. Aku sempat berpikir, "Hei, posisinya kurang nyaman, nih!" dan mengatur kembali letak bantal-bantal itu, sebelum menyuruh kedua adik perempuanku naik ke mobil.

Lalu aku terbangun, begitu saja. Dan saat terbangun, aku merasa ingin menangis.

Saat ke kamar mandi untuk berwudhu, aku teringat buku Socrates in Love yang kupinjam dari salah satu virtual sister-ku. Dalam buku itu, ada kalimat seperti ini: "When you return from a happy dream to sad reality, there's a chasm you have to step across, and you can't cross it without shedding tears." Dan aku berpikir, mungkin itu benar. Mungkin aku tak ingin terbangun dari mimpi yang kuanggap indah itu--mimpi di mana aku merasa diterima di keluargaku.

Lucu. Keluargaku selalu terlihat sempurna dari luar. Beberapa temanku merasa iri dengan keluargaku yang mereka lihat sangat dekat, terbuka, dan hangat. Beberapa temanku menegurku, berkata betapa bahwa seharusnya aku bersyukur, memiliki keluarga yang lengkap. Ya, aku bersyukur keluargaku lengkap. Aku bersyukur keluargaku tak memiliki komplikasi apapun, bersyukur bahwa meskipun tidak kaya, kami tidak hidup kekurangan. Aku menyayangi keluargaku, sangat. Aku akan menangis jika salah satu anggota keluargaku meninggal. Aku akan marah jika salah satu anggota keluargaku dilukai orang lain. Aku akan melakukan segalanya untuk keluargaku. Karena aku mencintai keluargaku, lebih dari apapun di dunia ini.

Namun, di saat yang sama, aku tahu, aku membenci keluargaku lebih dari apapun di dunia ini.

Manusia itu menarik, penuh dengan kontradiksi. Cinta dan benci adalah dua kata kuat yang artinya sangat bertolak belakang. Bagaimana aku bisa merasakan keduanya begitu kuat pada satu objek yang sama, itu di luar nalarku. Di atas segalanya, aku mencintai dan membenci keluargaku. Dan aku tidak perlu alasan untuk merasakan kedua hal itu.

No comments:

Post a Comment