Tuesday, July 27, 2010
WTF LIFE, STOP IT. FUCK OFF.
Tuesday, April 20, 2010
Jadi...
Hari ini entah kenapa rasanya seperti jadi mahasiswi super sibuk. *ditendang* Well, mungkin karena biasanya aku jarang punya kegiatan sebanyak ini. All in all, hari ini menyenangkan kok, dan sekali lagi aku diingatkan pada alasan kenapa aku bersyukur dan bahagia masuk Sosiologi 2009 UI. Jadi untuk singkatnya, yang kukerjakan hari ini meliputi:
1. Presentasi MPK Agama Islam bersama Pebri. Tidak ada masalah, hanya saja LTM sial belum kukerjakan, bleh.
2. Kuis DHIP. Yang menarik bukan kuisnya, sebenarnya, tapi fakta bahwa saking tak ada yang bisa kukerjakan (Oh, mood menulis, mood menulis, wherefore art thou, mood menulis?), akhirnya aku menghitung berapa kali dosen DHIP kami berkata "'Gitu ya." Total yang kuhitung selama jam kuliah, di mana dia bicara sekitar satu jam, adalah 385 kali. Sukses membuat aku dan Galuh mengikik di belakang, dan Galuh dengan lebaynya melakukan live-report via twitter tentang penelitian dadakan kami itu.
3. Rapat Tim Assesment untuk Community Development bersama Mas Adit, Fasya, Awal dan Yuli. Bulan MEi sepertinya akan jadi bulan sibuk untukku, tapi aku bersemangat karena kurasa ini bisa jadi satu kesempatan luar biasa kalau kumanfaatkan dengan baik. Yosh!
4. Latihan debat bersama Nicko dan Fina. Well, menurutku pribadi semuanya berjalan lancar sih, tapi memang pada dasarnya aku tidak bisa debat, dan Fina juga sepertinya kurang pede, jadi pada akhirnya kami memutuskan untuk mundur. :p Daripada memalukan nama Sosiologi, begitu. Sayang sebenarnya, Nicko itu punya kemampuan luar biasa, dan sekarang dia tak bisa menunjukkannya karena aku yang payah. Ufh.
5. Sesi curhat bersama Syaila. Entah kenapa membaca sms di cellphone-nya membuatku super iri. *glares at Pamujat*
6. Nonton futsal Sosiologi versus HI. CUma ada satu kalimat untuk menyimpulkan yang satu ini: Kelak harus ada Rumah Sakit Jiwa khusus anak-anak Sosiologi. Clearly, tak ada di antara kami yang sunggguhan waras. XDDDD Tapi karena ini juga aku bahagia masuk Sosiologi. Well.
Yak. Maka kemudian, datanglah sesi fangirling pribadi. Pertama-tama, aku harus mengakui kalau sepertinya OTP-ku bertambah satu. *peluk Minato/Ryoji-nya Persona 3* Salahku memang nggak tahan mencari spoiler, tapi pairing ini tragisnya keterlaluan, dan sebagai pencinta angst, rasanya tidak bisa kulepaskan. Entah kenapa, aku bisa melihat beberapa sifat yang sedikit-banyak mirip dengan Yosuke di Persona 4, misalnya sifat happy-go-lucky dan senyumnya yang kadang-kadang dipakai sebagai topeng. Sedangkan Souji dan Minato keduanya Main Chara, jadi mungkin karena itu MinatoRyoji klik-nya cepat di otak. XDDD They are indeed lovely. Kupikir awalnya aku akan jatuh pada Minato/Akihiko, karena well--it's Akihiko!! Sejak pertama kali memainkan P3, yang pertama kali membuatku berteriak dengan penampilannya yang super seksi itu adalah Akihiko. Main Chara/the coolest boy of the cast--modelnya KiruGon sekali, sebenarnya. XDDD Tapi tidak, pada akhirnya yang menaklukkan jiwa fangirl-ku adalah MinatoRyoji. Karena kupikir ShinjiAkihiko bisa mengalahkan ke-canon-an pairing lainnya. Karena MinatoJunpei--well, tidak cocok. Serius. MinatoYukari sebenarnya possible, dan aku tidak keberatan sebenarnya, karena Yukari mirip dengan Yosuke in some ways. MEh, harusnya aku tidak memirip-miripkan karakter begini. Sudah deh.
Pokoknya, MINATO/RYOJI!!!!! XD
Sayang sekali fandom P3 tidak seaktif dan sebesar P4. SoujiYousuke menguasai nyaris seluruh fans P4, tapi di P3, yang lebih berkuasa adalah ShinjiAkihiko atau AkihikoMitsuru. --a Bukan pertama kali memang aku memilih pairing yang tidak terkenal sebagai ship (melambai-lambai pada fandom GuyLuke yang super langka), tapi jiwa fangirl-ku itu termasuk yang super loyal dan sulit digeser arahnya. Sejauh ini, setahuku, cuma TezukaFuji yang bisa mengalihkan kesetiaanku--itupun karena dari dasarnya aku tidak serius menjadi pengikut Thrill Pair dan TezukaFuji jauh lebih masuk akal dan lovely dibanding Thrill atau Pillar Pair. Meng-convert seorang Isu adalah suatu pekerjaan super sulit, asal tahu saja.
Oh-ya, sekarang aku sedang sangat ingin menonton Uraboku dan Wonderful World. Uraboku (Uragiri wa Boku no namae o shitteiru)versi anime memang artwork-nya kalah jauh dibanding manga-nya, tapi kurasa tidak masalah menontonnya jika hanay demi mendengar sederatan suara manis, seksi dan melting sederetan seiyuu papan atas. Maksudku, halo? Ishida Akira dan Hoshi Souichirou, cek. Mamoru Miyano dan Namikawa Daisuke, cek. Hiroshi Kamiya dan Yukana, cek. Sakurai Takahiro, cek. Janga panggil aku Isu kalau aku sampai tidak menonton. Apalagi dengan janji hints shounen-ai yang membuat mataku melotot pertama kali melihatnya, sampai berteriak "I SMELL SHOUNEN-AI!!!!"
Wonderful World sendiri adalah dorama yang disutradarai Namikawa Daisuke, dengan Mamoru Miyano sebagai karakter utama. *teriak sambil gling-guling histeris* MAMORU MIYANO!!! Dan sebagian besar cast di dorama yang plotnya bertipe anime ini adalah seiyuu. Maksudku, ada Ono Daisuke dan--dan--dan SAIGA MITSUKI!!! Aku benar-benar berharap Sakurai akan ditampilkan meskipun cuma sebentar, yang penting dia bekerja bersama Saiga-sensei lagi. Ah, SakuSai. Seharusnya mereka menikah saja, dan mengadakan resepsi bertema Yuuram. *sighs*
Sudah ah. Jam sembilan--capek dan mau tidur. =D
Wednesday, April 7, 2010
Iseng saja, fanfic demi kepuasan pribadi.
He’d ask
“I wish I could be a healer.”
“Of course you can.”
“What do you want to be, Carl?”
“…A father.”
“Of whose children?”
He wanted to say “you,” of course, because Mariel was looking at him with her wide, bright blue eyes full of hope that spoke of the dreams only seen by an ordinary girl like she was--but the word stuck in his throat, leaving him speechless with an apparent pinkish shade adorning his cheeks. Because it was Mariel who had grasped his heart since the first time they shook hands and the word “friends” was exchanged. Mariel was an angel—with soft brown locks crowning her head and gentle cerulean eyes shining with understanding. She’d picked him up from the naiveté of Earth up to Heaven, showing him a whole new different perspective called love. But now—
--never did he imagine that he was the one who became an anchor. To life. To reality.
He didn’t tell Mariel that he knew, no. Not that Matt told him not to—it was just that he was scared. Yes, after all these years, he was still a coward. And a stupid boy—an extraordinarily ordinary boy who couldn’t even say a thing to make the smile on Mariel’s face grew wider like
“Of whose, Carl?”
“…I…I dunno. I guess… um. My wife’s.”
“But you don’t have one.”
“Yeah. But I will one day.”
But Mariel wouldn’t be able to have children, would she? She would be ten forever, while he would grow, taller and taller until he reached his limit; his jaw forming a firm line like Cam’s, and his chubby cheeks gone, and he would be an adult like he was supposed to look at his age. But Mariel—Mariel was a Lost Girl, wouldn’t even grow older even though she aged. Ten forever, that was what she was. And one day, there would be a time when Carl took her hand and felt how small it was. There would be a time when Carl walked with her and someone would ask if she was his sister. There would be a time when people gave him weird looks when he kissed Mariel full on the lips in public—if he ever worked up the courage to do that.
Ten forever. And she might not even reach seventeen.
“You are awfully distracted today. Should we head back?”
“No.” Pause. Hesitance. “I mean—if you want to.”
Cerulean eyes as gentle as the morning breeze. “Um. Let’s stay here a bit longer, yes?”
“Yeah.”
When Mariel’s cold hand touched his hesitantly, he looked up and caught the gentle gaze, and the thought slipped into his mind—I have to be her Peter Pan.
Ha. If only he was strong enough to be one.
The book in his hand felt heavy—The Little Prince, the book Mariel had said to be one of the best ever, the book that she slipped into his Transfiguration book—the book she said was the core of her strength. The book she never forgot to bring wherever she went. The book she had never lent to anybody. He’d finished it in two hours—it was a fairy tale, so he could bear with it—and despite the amazement of the story, he finally understood why Mariel loved this book so much.
“Today is a good day.”
“Did something good happen?”
“Well, not really. I’m still thankful, though.”
“I don’t get it.”
“You’re here, the sky is blue, the sun is warm, and I’m having a good time. You see, you have to be thankful for those little things, Carl.”
And he was. He was thankful to have her—so very much. And the book had made him so much more aware of that.
Even the older twin of Camelopardalis and Pushkin didn’t know of Mariel’s true condition, and they were Mariel’s best best friends. If it weren’t for Matt, he wouldn’t even have known. Mariel kept everything about her handicap to herself—not even Matt claimed to know exactly how she was doing. And Carl was scared—scared so much that Mariel would slip out of his hold while he wasn’t aware of it; slip out of his hold and out of this world. Even thinking about it was scary.
The night was not young anymore—everyone in the boys’ dorm seemed to be asleep. But he couldn’t. And he hated it, because at night, shadows played many tricks to his eyes, taking advantage of the lack of light. He could hear Silvershape’s snore from the corner of the room, and Fratley’s soft breathing on the next bed. He could feel his heart thumping beneath the book he held on his chest—and something in his head said, I want to see her.
He was an idiot, alright. Stupid enough to walk out of the room bare-footed and trudged down the stairs towards the Common Room decked in everything orange. The hearth was still alight, emitting welcoming warmth against the cold stone walls and floors of Hogwarts. He stepped in soundlessly, feeling the hard, cold stone under his feet, and stopped—
--what the hell. What was he going to do anyway? Sneaking into the girls’ dorm? It was late at night, Mariel wouldn’t even be awake!
“…Who’s there?”
The sleepy voice roused him from his trance, and his eyebrows rose high, because the beautiful, soprano voice was one he would always recognize even with eyes closed. Promptly striding towards the couches around the hearth, he let his eyes wander to find his girl laying on one of the couches; a blanket covering her and a letter in her hand—looking up at him in surprise, with a touch of sleepiness in those gentle blue eyes.
“Why are you still up, Carl?”
He opened his mouth, and swiftly closed it again because he had no idea what to say. Taking in the sight of his girl, he noted that her feet were positioned rather awkward—her ankles angling from the couch side—and the blanket didn’t quite cover her legs. And the fact that she was still wearing her Hogwarts robe—
It was the time again, huh?
He saw Mariel tried to move—and out of impulse, or perhaps it was just in his trait as a Badger, he went over to the side of the couch and helped the girl sit up. Mariel tensed under his touch, and he paused for a moment, but then she shifted and he moved again, helping her to a sitting position. Once she settled down, he hesitantly took the place next to her, sitting almost stiff with The Little Prince in his hand still.
Cerulean eyes found his dark ones, and Mariel spoke, almost scared, “You knew.”
“Huh?” He blinked, because his mind was somewhat hazy, seeing his girl in such a helpless state like that. But then everything clicked, and he bit his lips, before saying, “Matt—“
“I know. He told me.”
“Oh.” Oh. So he didn’t need to explain anything.
Not that he knew how to.
But something in his chest was screaming at him, telling him an idiot for being quiet while his whole surroundings practically flashed red a ‘ROMANTIC’ at him—the fire in the fireplace, the blanket, the book, the dim light, Mariel’s soft breathing—and before he knew it, his hand moved, threading his fingers on Mariel’s brown locks, undoing the natural knots. He heard her sigh softly, so he pulled her, letting her head rest on his shoulder before encircling her figure with one arm.
“You’re alright.”
“…Yes. You’re right. I am.”
He planted a kiss on the girl’s head, inhaling the subtle scent of jasmine that he’d associated as her scent. Mariel’s hands moved to spread the blankets on both of them, and Carl relaxed, closing his eyes in contentment. Her fingers touched the book on his lap, overlapping with his fingers, and Carl laced them together.
He was thankful. Of this girl in his arms, of the fate that led him to know and love her. There would be times when they’d face hard times, there would be times when he had to watch Mariel in pain and felt the dreadful feeling in his stomach—but those would come later on. Now, it was peaceful and warm and Mariel was against him—breathing and alive and happy.
I’ll be your Peter Pan, little Lost Girl.
He fell asleep with the vow echoing in his head, to the sound of soft breath and the crackle in the fire.
-----o0o-----
Kalau sampai ketahuan menulis ini, mungkin aku bisa digantung. Hahaha.
Wednesday, January 20, 2010
Tengah Malam dan INFP
1. Mengecek forum RP IndoHogwarts dan me-reply semua hutang
2. Mengecek LJ untuk bahan-bahan fangirling serta catch up dengan teman-teman virtual yang tinggal nun jauh di ujung bintang jatuh sana
3. Menunggu colorbar AsuKira buatan Rizu yang rencananya mau dia upload malam ini
4. Mengecek FB sebentar
5. Membaca semua review yang masuk untuk fanfiksi yang baru ku-publish di FFN kemarin malam
6. Chatting
7. Mengerjakan ship-manifesto Yuuram yang deadline-nya masih bulan Juli
8. Membaca Hagane no Renkinjutsushi di onemanga karena kepenasaran yang tidak tertahankan (Oh, Al, my Al, wherefore art thou, my Al??)
9. Membaca doujinshi LockonTieria dan AsuKira yang baru didapat kemarin.
10. Mengisi blog yang lama tidak diurus, duh.
Nah. Kata siapa aku tak bisa multi-tasking? *tawa bangga* Baiklah, semua yang disebut di atas berhubungan dengan fangirling, tapi serius. Ini liburan, dan aku hampir mati bosan.
Ngomong-ngomong, ceritanya, malam ini aku chat dengan Yume. Dia ini teman a. k. a senior RP di IndoHogwarts, yang adiknya ternyata satu angkatan dengan karakter RP-ku. Tapi di dunia nyata, ternyata Yume adalah mahasiswi MIPA UI, angkatan 2009. Dunia sempit, bukan lagi kejutan. Yang jadi kejutan adalah ternyata Yume punya banyak kesamaan denganku--mulai dari kefujoshian kami, anime dan manga favorit kami, bahkan hingga karakter dasar dan idealisme kami. Tahu apa yang malam ini kami bicarakan? Kami mendiskusikan teori psikologis dunia RP. Oh, dan homoseksualitas, secara psikologis maupun sosiologis, tapi itu bukan topik utama yang penting.
Hebatnya, tanpa sadar aku akhirnya bercerita pada Yume tentang berbagai macam hal. Karena aku merasa cocok dengannya? Mungkin. Dan saat aku menyebutkan salah satu karakterku yang selama ini kurahasiakan, Yume akhirnya menyebutkan kata itu: INFP. Introverted iNtuitive Feeling Perceiving. Dia bilang, aku adalah tipikal INFP, seperti juga dirinya.
Jadi INFP itu sebenarnya apa? Dari website ini aku melihat semua deskripsinya. INFP--orang-orang ini bergerak berdasarkan perasaan, intuisi. Mereka melihat dan bertindak dari kacamata bernama perasaan, berdasarkan nilai-nilai yang mereka anut dan pegang. Tujuan orang-orang ini adalah mencari arti kehidupan itu sendiri; mencari apa tujuan hidup mereka sebenarnya, dan bagaimana mereka bisa menorehkan jejak berarti, meski kecil, bagi dunia dan manusia?
Para INFP ini sangat intuitif dalam bereaksi kepada orang lain. Mereka sangat bertumpu pada intuisi mereka sebagai panduan hidup, dan mereka menggunakan segala yang mereka tahu dan temukan untuk mencari nilai-nilai kehidupan. Secara terus-menerus, mereka mencari berbagai arti yang tersembunyi dari kenyataan di hadapan mereka. Rata-rata orang-orang INFP adalah pendengar yang baik dan membuat orang-orang nyaman. Meskipun sering menyembunyikan dan menekan emosi dan perasaan mereka sendiri, mereka tulus memerhatikan dan ingin memahami orang lain. Ketulusan inilah yang kemudian dirasakan oleh orang lain dan membuat mereka merasa nyaman untuk membuka diri pada para INFP. Sedangkan seorang INFP sendiri akan menjadi orang yang hangat dan terbuka pada orang-orang yang dikenalnya dengan baik.
Mereka tidak menyukai konflik, cenderung menghindarinya dengan cara apapun. Mereka tidak terlalu peduli pada yang mana salah dan yang mana yang benar--mereka terfokus pada bagaimana konflik itu memengaruhi perasaan mereka, dan mereka tidak peduli apa mereka salah atau benar. Ini membuat mereka seringkali terlihat irasional dan tidak logis. Namun ini juga berarti para INFP sangat baik untuk menjadi mediator, dan seringkali mampu membantu orang lain menyelesaikan masalahnya dengan baik--karena secara intuitif mereka memahami perasaan orang lain dan perspektif mereka, dan secara tulus ingin membantu mereka. Para INFP juga dikenal sebagai orang-orang yang fleksibel dan santai. Namun jangan salah, mereka akan mati-matian mempertahankan idealisme dan nilai-nilai yang mereka pegang. Para INFP bukan orang-orang yang memerhatikan detail, namun jika menyangkut sesuatu yang penting bagi mereka, mereka akan memerhatikan detail terkecil yang ada.
Para INFP tidak menyukai pemikiran objektif dan logis, dan ini membawa mereka pada sisi yang sulit saat berada di bawah tekanan stress. Rata-rata mereka adalah orang yang perfeksionis dan sulit untuk puas pada hasil kerjanya, dan menyulitkan mereka sendiri saat harus bekerja dalam kelompok karena standar mereka yang tinggi. Kebanyakan dari INFP ini berbakat dalam menulis. Mereka sulit mengekspresikan diri lewat kata-kata verbal, namun lewat tulisan, mereka berekspresi dan mendefinisikan segala sesuatu dengan luar biasa.
Baiklah, aku harus mengakui, sisi-sisi INFP memang ada dalam karakterku. Hei, aku benci logika, dan aku suka menulis, meski tulisanku mungkin tidak bagus. Dan asal tahu saja, aku memegang prinsipku sendiri, dan aku yakin, orang-orang yang pernah melihatku mengamuk marah berdebat membela sesuatu yang kuanggap penting bukan hanya sekali. Aku santai--mungkin terlalu santai, malah. Apa ada lagi kata untuk menyebutkan orang yang masih sempat membaca fanfiksi di saat ia harus mengerjakan tugas makalah yang dikumpulkan keesokan harinya? Kurasa tidak.
Regardless, toh bukan aku yang berhak menilai karakterku sendiri. Orang lain-lah yang berhak; karena meskipun manusia memasang berlapis-lapis topeng setiap hari, namun fragmen-fragmen kejujuran mereka akan menyelinap keluar tanpa disadari. Aku tidak bilang kalau aku setuju sepenuhnya dengan konsep dramaturgi Goffman, tapi kau tak bisa menyangkal bahwa teori itu sepenuhnya salah. Sungguh, kalau kau bisa memberikanku satu bukti bahwa kau tidak pernah memasang topeng senyuman meskipun kau kesal, aku akan berusaha sekuat tenaga menghubungi pihak Guiness Book of Records untuk menominasikanmu dalam kategori baru.
Ya, jariku sakit. Terlalu banyak mengetik malam ini. Ibuku akan membunuhku kalau dia sampai tahu aku belum tidur bahkan setelah lewat tengah malam.
Oh, baru saja satu review baru untuk Pride and Prejudice masuk ke inbox-ku. Review positif, untungnya. Chapter berikutnya seharusnya sudah mulai kukerjakan, tapi nanti sajalah. Deadline yang kutentukan analisis karakter untuk ship-manifesto Yuuram yang akan didiskusikan dengan HARPGO semakin mendekat, jadi harusnya aku mengerjakan itu dahulu. Really, I should stop procrastinating...
Monday, November 23, 2009
Mimpi sore ini
Aku rasa aku bermimpi indah, karena aku tidak terbangun hingga pukul lima dan Ibuku berteriak menyuruhku bangun karena aku belum shalat Ashar. Aku jarang sekali bermimpi--atau lebih tepatnya, aku jarang sekali ingat apa yang kuimpikan. Aku punya banyak impian, tapi impian itu berbeda dengan mimpi. Aku jarang bermimpi. Seringkali aku terbangun dengan pikiran kosong, atau merasa memimpikan sesuatu tapi tak ingat apa itu.
Karena itulah, saat aku tidur, bermimpi, dan mampu mengingat mimpi itu, rasanya mimpi itu spesial.
Mimpiku tadi sore agak aneh. Aku bermimpi pulang ke kampung halaman bersama keluargaku, tapi mereka bukan keluargaku. Keluargaku di dunia nyata terdiri dari Ayah, Ibu, adik laki-laki yang tiga tahun lebih muda dariku, serta dua adik perempuan yang saat ini duduk di bangku kelas lima dan satu SD. Sedangkan di dalam mimpi, keluargaku terdiri dari Ayah, Ibu, dua adik perempuan berusia tujuh dan empat tahun, serta satu adik bayi yang aku tidak yakin apakah dia perempuan atau laki-laki.
Dalam mimpiku sore tadi, merekalah keluargaku.
Aku bermimpi kami sedang siap-siap untuk kembali ke Jakarta, sementara kedua adik perempuanku pergi bermain-main keliling kompleks. Ibuku memintaku mencari mereka, berkata kalau mobil kami akan menunggu di depan kompleks. Jadi aku pergi tanpa protes, menyusuri gang-gang kompleks dan akhirnya menemukan kedua adik perempuanku di depan sebuah warung, menungguku.
Kemudian kami berjalan gerbang depan kompleks, dan aku menggendong adik perempuanku yang berusia tiga tahun di atas pundakku. Kami bernyanyi bersama-sama di sepanjang jalan, sampai akhirnya melihat mobil kami--Avanza hitam--menunggu di gerbang kompleks. Ayahku keluar, menegurku dengan lembut karena kami bertiga lama sekali. Ibuku duduk di jok penumpang depan, menggendong adik bayiku. Ketika membuka pintu mobil, jok penumpang tengah ternyata sudah dilepas, berganti dengan tumpukan bantal agar kami bisa tidur di sepanjang perjalanan.
Setiap tahun, saat mudik, keluargaku selalu melepas jok penumpang tengah dan meletakkan bantal-bantal besar di lantai mobil, agar anak-anak bisa tidur dengan nyaman. Bahkan dalam mimpi, aku mengenali tradisi kecil kami ini. Aku sempat berpikir, "Hei, posisinya kurang nyaman, nih!" dan mengatur kembali letak bantal-bantal itu, sebelum menyuruh kedua adik perempuanku naik ke mobil.
Lalu aku terbangun, begitu saja. Dan saat terbangun, aku merasa ingin menangis.
Saat ke kamar mandi untuk berwudhu, aku teringat buku Socrates in Love yang kupinjam dari salah satu virtual sister-ku. Dalam buku itu, ada kalimat seperti ini: "When you return from a happy dream to sad reality, there's a chasm you have to step across, and you can't cross it without shedding tears." Dan aku berpikir, mungkin itu benar. Mungkin aku tak ingin terbangun dari mimpi yang kuanggap indah itu--mimpi di mana aku merasa diterima di keluargaku.
Lucu. Keluargaku selalu terlihat sempurna dari luar. Beberapa temanku merasa iri dengan keluargaku yang mereka lihat sangat dekat, terbuka, dan hangat. Beberapa temanku menegurku, berkata betapa bahwa seharusnya aku bersyukur, memiliki keluarga yang lengkap. Ya, aku bersyukur keluargaku lengkap. Aku bersyukur keluargaku tak memiliki komplikasi apapun, bersyukur bahwa meskipun tidak kaya, kami tidak hidup kekurangan. Aku menyayangi keluargaku, sangat. Aku akan menangis jika salah satu anggota keluargaku meninggal. Aku akan marah jika salah satu anggota keluargaku dilukai orang lain. Aku akan melakukan segalanya untuk keluargaku. Karena aku mencintai keluargaku, lebih dari apapun di dunia ini.
Namun, di saat yang sama, aku tahu, aku membenci keluargaku lebih dari apapun di dunia ini.
Manusia itu menarik, penuh dengan kontradiksi. Cinta dan benci adalah dua kata kuat yang artinya sangat bertolak belakang. Bagaimana aku bisa merasakan keduanya begitu kuat pada satu objek yang sama, itu di luar nalarku. Di atas segalanya, aku mencintai dan membenci keluargaku. Dan aku tidak perlu alasan untuk merasakan kedua hal itu.
Membuka Pintu
Yang ada di dalam blog ini sebagian besar adalah posts yang tidak penting, hanya kehidupan pribadi yang sedikit membosankan serta pikiran-pikiran aneh yang muncul ketika sedang melamun. Sedikit informasi menarik seandainya ada, mungkin. Hal-hal seperti itulah.
Yang harus diketahui hanyalah fakta bahwa aku mahasiswi Sosiologi berusia kurang dari dua puluh tahun sekarang. Biasanya orang memanggil Ismi, Isu, atau Aya, dan ada satu orang yang kadang-kadang iseng memanggil dengan Nya--dari Pradnya, alasan yang tidak valid dan logis. Intinya, yang penting, sih, itu saja.
Selamat datang, dan jika tertarik dengan salah satu posts, aku akan sangat appreciate kalau ada yang meninggalkan komentar. Nggak pernah ada kata salah untuk menambah teman baru, betul? Hehe..